Kembali ke Arsip Pustaka

Irama Cinta untuk Luna

Cerpen

Karakter:

  • Arya: Mahasiswa Sastra berusia 22 tahun, bermata cokelat dalam, dengan jiwa puitis yang tersembunyi di balik jaket kuliahnya yang sedikit kusut. Ia pemikir, tapi sering kali terjebak dalam labirin asumsinya sendiri.
  • Luna: Mahasiswi Arsitektur berusia 21 tahun, berambut panjang yang selalu diikat rapi, dengan senyum yang mampu menerangi ruangan. Ia cerdas, populer, dan memiliki aura yang membuat semua orang ingin mengenalnya lebih dekat.

Babak 1: Pandangan Pertama di Panggung Aula

Hari itu adalah Selasa yang biasa di kampus, namun bagi Arya, dunia tiba-tiba berubah warna. Aula utama universitas dipenuhi mahasiswa yang berdesakan, udara penuh dengan aroma kopi murah dan bisik-bisik bosan. Seminar wajib tentang “Tren Literatur Modern” sedang berlangsung, tapi Arya lebih sibuk melamun, memandangi jendela yang memantulkan sinar matahari senja. Hingga tiba-tiba, suara lembut namun tegas memecah keheningan, menarik perhatiannya seperti magnet.

Di atas panggung, berdirilah Luna. Sebagai perwakilan himpunan mahasiswa Arsitektur, ia mempresentasikan rencana proyek dengan slide-slide yang rapi dan kata-kata yang mengalir bak puisi. Rambutnya yang tergerai lembut menangkap cahaya lampu panggung, dan senyumnya—oh, senyum itu—seperti matahari yang tiba-tiba muncul di tengah hari mendung. Arya merasa jantungnya bergetar, sebuah melodi yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

“Dia sempurna,” gumamnya dalam hati, matanya tak berkedip. Dalam benaknya yang puitis, Luna adalah heroine dalam novel-novel klasik yang pernah ia baca: cerdas, anggun, dan pasti memiliki hati yang hangat. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak membayangkan mereka berdua berjalan bersama di bawah pohon-pohon kampus, berbagi cerita tentang buku dan mimpi.

Di sekitarnya, bisik-bisik teman-teman sekelas hanya memperkuat khayalannya. “Luna itu beda, ya,” kata seorang senior dengan nada kagum. “Pernah lihat dia bantu adik kelas bikin maket? Baik banget,” sahut yang lain. Arya tersenyum kecil. Jika semua orang mengaguminya, bukankah itu pertanda bahwa perasaannya adalah irama yang benar?

Babak 2: Labirin Harapan dan Pembenaran

Beberapa hari kemudian, Arya mengumpulkan keberanian untuk mendekati Luna. Momen itu terjadi di kantin kampus, di tengah aroma nasi goreng dan tawa mahasiswa lainnya. Luna duduk sendirian, membaca buku arsitektur dengan ekspresi serius. Arya mendekat, jantungnya berdegup kencang, dan dengan suara yang sedikit bergetar, ia berkata, “Aku suka buku yang kamu baca kemarin di seminar. Mind sharing your thoughts?”.

Luna menoleh, tersenyum tipis, dan mengangguk. Percakapan mereka mengalir begitu saja—dari buku favorit hingga film lama yang ternyata mereka sukai bersama. Satu jam berlalu seperti lima menit, dan Arya pulang dengan hati penuh bunga. “Ini dia,” pikirnya. “Irama cinta yang selalu kubaca di novel-novel romansa.”.

Setelah itu, interaksi mereka memang tak seintens hari itu. Hanya senyum sekilas di koridor atau sapaan singkat saat berpapasan. Tapi bagi Arya, momen di kantin itu adalah nada pertama dari simfoni yang ia yakini akan indah. Ia mulai membuka Instagram Luna setiap malam, menelusuri setiap foto dan caption. Saat Luna memposting gambar matahari terbenam dengan tulisan, “Finding peace in chaos,” Arya berpikir, “Dia puitis seperti aku.”. Saat Luna membalas pesannya dengan “Haha, iya,” ia yakin itu tanda Luna malu-malu menyukainya.

Arya tak sadar bahwa ia sedang menyusun melodi harapan di atas pasir. Setiap detail kecil tentang Luna ia ubah menjadi notasi sempurna dalam pikirannya, mengabaikan kenyataan bahwa ia hanya mendengar nada-nada yang ingin ia dengar.

Babak 3: Puncak Kesalahpahaman

Malam itu, angin musim semi berhembus lembut di kampus, membawa aroma bunga akasia yang manis. Acara musik tahunan digelar di lapangan terbuka, lampu-lampu kecil berkelap-kelip di antara kerumunan mahasiswa yang bersorak. Arya berdiri di samping panggung, gitar pinjaman di tangan, jantungnya berdetak seperti drum perang. Ia teringat adegan romansa di film favoritnya—seorang pria menyanyi untuk kekasihnya di depan umum, dan hati sang gadis luluh. “Ini saatnya,” gumamnya.

Saat band terakhir selesai tampil, Arya melangkah naik ke panggung. Sorot lampu menyilaukannya, tapi matanya langsung menemukan Luna di tengah kerumunan, berdiri dengan jaket denim dan ekspresi santai. Dengan nada yang sedikit fals tapi penuh perasaan, ia menyanyikan lagu cinta yang ia tulis sendiri, liriknya penuh gairah tentang “cahaya yang menerangi hidupku.”. Ketika nada terakhir selesai, ia menatap Luna dan berkata lantang ke mikrofon, “Luna, ini untukmu. Aku suka kamu.”.

Kerumunan terdiam, lalu berbisik. Tapi wajah Luna bukanlah wajah gadis yang tersipu malu dalam novel romansa. Matanya melebar, pipinya memerah karena malu, dan tanpa sepatah kata, ia berbalik, menerobos kerumunan dengan langkah cepat. Sorak-sorai kecil berubah menjadi tawa pelan, dan Arya berdiri membeku, gitar di tangannya terasa seperti beban seribu ton.

Malam itu, ia duduk di kamarnya, memandangi langit gelap di luar jendela. Rasa malu membakar dadanya, dan bayangan wajah kaku Luna terus berputar di pikirannya. “Apa yang salah?” tanyanya pada dirinya sendiri, tapi irama hatinya kini terdengar sumbang.

Babak 4: Cermin yang Retak

Hari-hari berikutnya terasa seperti kabut. Luna menghindarinya sepenuhnya—tak ada senyum, tak ada sapaan. Arya mencoba menghubunginya, mengirim pesan panjang tentang perasaannya, bahkan mengirim buket mawar kecil lewat teman. Tapi tak ada balasan. “Mungkin dia sedang sibuk,” katanya pada sahabatnya, Rian, meski suaranya sendiri tak yakin. “Atau mungkin dia nggak suka keramaian waktu itu.”.

Rian hanya menggeleng. “Bro, lo yakin dia tahu lo suka dia sebelum ini?”.

Pertanyaan itu menggantung di udara, tapi Arya tak mau mendengar. Ia terus mencoba, terjebak dalam keyakinan bahwa usahanya pasti akan membuahkan hasil. Setiap malam, ia menatap ponselnya, berharap tiba-tiba nama Luna muncul di layar. “Sudah seminggu dia nggak bales. Besok pasti dia kasih kabar,” pikirnya, seolah cinta adalah permainan probabilitas.

Babak 5: Hujan di Hati

Hujan mengguyur kota malam itu, seolah langit pun menangis bersama Arya. Setelah pertemuan di bawah pohon akasia, kata-kata Luna seperti pisau yang terus menusuk dadanya: “Kamu nggak benar-benar kenal aku.”. Ia duduk di sudut kamar, menatap layar ponselnya yang memajang foto Luna—tawanya yang polos, matanya yang berbinar. Tapi kini, semua itu terasa jauh, seperti melodi yang perlahan sirna.

“Aku bodoh,” gumamnya, air mata jatuh membasahi pipinya. Ia merasa seperti tokoh dalam novel tragedi, terpuruk dalam cinta yang tak pernah ia miliki. Di luar, petir menggelegar, seakan menyuarakan kegelisahan hatinya. Namun, di tengah keputusasaan itu, ada secercah nada baru. Arya mulai bertanya pada dirinya sendiri—apakah ia benar-benar mencintai Luna, atau hanya irama sempurna yang ia ciptakan darinya?.

Babak 6: Jarak yang Mendekatkan

Hari-hari berlalu, dan Arya memilih menjauh. Ia tenggelam dalam buku, puisi, dan tawa teman-temannya, mencoba melupakan nada cinta yang masih membakar di dadanya. Tapi takdir punya cara sendiri untuk menyusun simfoni. Di perpustakaan kampus, di antara rak buku tua, ia bertemu Luna lagi. Matanya yang bening menatapnya, dan senyum tipis itu membuat jantung Arya bergetar.

“Hai, Arya,” sapa Luna lembut, suaranya seperti angin yang membelai.

“Hai,” jawab Arya, tercekat. Ia ingin lari, tapi kakinya membatu.

Luna menghela napas. “Aku minta maaf kalau aku terlalu keras waktu itu. Aku nggak mau kamu salah paham.”.

Arya menggeleng pelan. “Nggak, Luna. Kamu benar. Aku yang nggak pernah coba mengenalmu.”.

Saat itulah, di antara bau kertas tua dan keheningan perpustakaan, mereka mulai berbicara. Bukan sebagai penutup luka, tapi sebagai awal melodi baru. Luna bercerita tentang mimpinya menjadi arsitek, tentang ketakutannya gagal, tentang luka kecil di hatinya yang tak pernah ia tunjukkan. Arya mendengar, dan untuk pertama kali, ia mendengar Luna yang sebenarnya—bukan dewi, tapi manusia biasa yang rapuh.

“Mungkin kita bisa jadi teman,” ujar Luna di akhir percakapan, matanya penuh harap.

Arya tersenyum, meski hatinya terasa perih. “Aku akan senang sekali.”.

Babak 7: Benih Cinta yang Tumbuh Perlahan

Persahabatan mereka bermekar seperti bunga di musim semi, sebuah irama yang lembut namun pasti. Mereka belajar bersama, saling menggoda di kafe kampus, dan berbagi cerita di bawah pohon akasia. Arya mulai jatuh cinta lagi, tapi kali ini pada Luna yang nyata—Luna yang cerdas, Luna yang kadang canggung, Luna yang suka menggigit bibir saat grogi. Setiap detik bersamanya terasa seperti melodi yang indah, tapi Arya takut. Ia tak mau kehilangan harmoni yang baru saja ia temukan.

Suatu malam, di panggung pensi kampus, Luna membawakan puisi. Suaranya mengalir, penuh jiwa, dan Arya duduk di barisan depan, terpaku. Saat Luna turun, Arya memberanikan diri. “Luna, puisimu... kamu... luar biasa.”.

Luna tersipu, rona merah membakar pipinya. “Makasih, Arya. Kamu selalu ada buat aku.”.

Di bawah lampu panggung yang redup, Arya melihat ada sesuatu di mata Luna—kelembutan yang membuat hatinya bergetar. Tapi ia tak berani bermimpi terlalu jauh.

Babak 8: Badai yang Menguji

Ketenangan itu tak bertahan lama. Seorang mahasiswa baru, tampan dan penuh pesona, mulai mendekati Luna. Mereka sering terlihat bersama—tertawa, berbagi buku, berjalan di koridor kampus. Desas-desus menyebar, dan setiap kata yang Arya dengar terasa seperti nada sumbang yang merusak simfoninya. Cemburu membakar hatinya, tapi ia hanya bisa diam. Mereka hanya teman, bukan?.

Suatu sore, di taman kampus, Arya tak sengaja mendengar Luna dan lelaki itu. “Minggu depan ada konser, ikut aku, ya?” ajaknya, suaranya penuh semangat.

Luna tertawa ringan. “Boleh, kedengarannya seru.”.

Arya berbalik, langkahnya berat meninggalkan taman. Malam itu, ia menulis puisi paling kelam, tentang hati yang hancur dan irama cinta yang terkubur. Ia merasa bodoh karena pernah berharap.

Babak 9: Pengakuan di Bawah Bintang

Tak tahan lagi, Arya memutuskan untuk mengakhiri siksaan ini. Ia mengajak Luna ke atap gedung sastra, tempat bintang-bintang bersinar terang di langit malam. Angin berhembus dingin, tapi hatinya lebih dingin lagi.

“Luna,” katanya, suaranya bergetar, “aku nggak bisa bohong lagi. Aku suka kamu, lebih dari temen. Tapi aku ngerti kalau kamu nggak—”.

“Tunggu,” potong Luna, matanya berkaca-kaca. “Arya, kamu nggak ngerti.”.

Arya terdiam, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?”.

Luna mendekat, tangannya gemetar menyentuh lengan Arya. “Aku cuma takut, Arya. Takut kalau aku terlalu cepat nyaman sama kamu. Tapi... aku juga suka kamu. Sudah lama.”.

Arya membeku, tak percaya. “Luna...”.

“Aku nggak ke konser itu karena suka dia,” lanjut Luna, suaranya parau. “Aku cuma nggak mau buru-buru, nggak mau kita salah langkah.”.

Air mata jatuh dari mata Arya, tapi kali ini penuh kelegaan. “Luna, aku janji, aku akan jaga kamu. Kita akan lelet, kalau itu yang kamu mau.”.

Mereka berpelukan, hangat di tengah dingin malam, dan bintang-bintang seolah bersorak untuk irama cinta mereka.

Epilog: Melodi Cinta yang Abadi

Setahun kemudian, Arya dan Luna berdiri lagi di bawah pohon akasia. Di tangan Arya, ada sebuah cincin sederhana. “Luna, kamu mau jadi bagian dari hidupku, selamanya?”.

Luna tersenyum, air mata bahagia mengalir. “Iya, Arya. Selamanya.”.

Mereka berciuman di bawah sinar senja, dan angin membawa harapan untuk simfoni cinta yang tak akan pernah usai.